Pada mulanya adalah tulisan yang
diunggah di media sosial bernama facebook. Salah satu dari sedikit tulisan
kasual yang bisa dibuat di tengah hiruk pikuk kehidupan ibu kota. Momentum
Piala Dunia 2010 ternyata mampu membujukku untuk sekadar iseng menulis. Dengan
sifatnya yang kasual dan diniatkan untuk dikonsumsi pribadi, maka tulisan
tersebut pun diunggah di facebook sebagai notes. Tapi siapa nyana
kalau tulisan yang awalnya dimaksudkan sebagai sarana pelepas beban dan bacaan
ringan pribadi justru nongol di tabloid olah raga nasional yang bertiras
ratusan ribu, tabloid BOLA. Adalah Andhika Suksmana, saat itu presiden BIGREDS,
yang berjasa “menggolkan” tulisan tersebut sehingga terpampang nyaris satu
halaman penuh di halaman 12, andai tak ada iklan.
Waktu itu Minggu petang menjelang maghrib, mas Deeka begitu aku biasa menyapanya, menelpon meminta dikirimi foto close up via e-mail. Lupa dan kurang jelas waktu itu untuk apa foto itu dibutuhkan, yang ada di pikiran adalah yang penting rikuesnya dipenuhi. Ajaibnya, laptop yang hendak dipakai untuk mengirimkan foto mati mendadak karena panas berlebih. Maka setelah Maghrib, rikues tersebut baru bisa kupenuhi dari warung internet (warnet). Itu pun dengan mencomot foto dari facebook. Keesokan harinya via media sosial lainnya, twitter, baru kuketahui tentang dimuatnya tulisanku.
Ini mungkin jatahku menjadi terkenal
selama 15 menit. Seperti kata Andy Warhol pada tahun 1968, "In the future, everyone will be world-famous for 15
minutes." Terlepas menjadi beken atau tidak, hadir di media massa
nasional telah membayar tunai hutangku pada mantan teman kos dan kuliahku seorang warga
negara Australia, Robin James Bednall.
Hikmah Lukisan Afrika Selatan
Jika diumpamakan lukisan, Piala
Dunia 2010 seperti baru saja memulaskan warna terakhirnya. La Furia Roja Spanyol dan Oranje
Belanda adalah warna dominan pada the
greatest show on earth kali ini. Orientasi pada kemenangan dan ikhtiar
bermain cantik telah membawa mereka ke stadion Soccer City, Johannesburg.
Spanyol, di final pertamanya
mampu menjadi juara baru. Negara Eropa pertama yang juara di luar benuanya.
Setelah drama lapangan hijau berdurasi 120 menit lebih berlalu, terlihatlah
wajah-wajah cerah Iker Casillas.
Ketika kegembiraan massif juga
meledak di Madrid dan kota-kota lain di seluruh dunia juga di Indonesia, sebuah
selebrasi global sedang terjadi.
Arjun Appadurai dalam bukunya Modernity
at Large: Cultural Dimension of Globalization, menjelaskan fenomena
selebrasi transnasional ini disebut ideoscapes. Salah satu dari lima arus
global yaitu dimensi interkoneksi yang menembus ruang dan waktu dalam hal
etnis, teknologi, keuangan, media, dan ideologi. Pesta pun tak sungkan digelar
di Catalonia, wilayah yang getol ingin memisahkan diri dari Spanyol.
Dari Afrika Selatan, selama
sebulan kita sudah disuguhi pertandingan dengan beragam hasil dan kejadian. Apa
yang coba direka di atas kertas kerap berbeda dengan yang ada di atas lapangan.
Kejutan dan kontroversi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu
kompetisi.
Namun dalam kanvas besar PD 2010,
tak hanya gambaran pelangi kompetisi yang menonjol. Salah satu diantara warna
cerah itu justru ada jauh di luar Afrika yaitu Paul si Gurita. Aktivitas memilih makanannya telah dijadikan
sebagai ritual meramal calon pemenang pertandingan.
Paul sukses memprediksi dengan
benar semua pertandingan Jerman termasuk dua kekalahan dari Serbia dan Spanyol.
Dan pertandingan perebutan tempat ketiga dan final pun lagi-lagi benar
diramalnya. Ada rumah judi yang kemudian mengagumi kemampuannya, tentunya tak
sedikit yang tidak suka dengan ramalannya yang dianggap telah menjadi penyebab
kekalahan tim kesayangan mereka.
Kemudian ada vuvuzela yang telah menjadi peranti bagi budaya baru menonton di
stadion, setidaknya di Afrika Selatan. Deru suara dan aneka rupa bentuknya
setara penemuan taburan confetti,
dan gerakan Mexican Wave oleh
penonton.
Meski oleh beberapa pihak
dianggap mengganggu, amat mungkin di kemudian hari Vuvuzela akan menyebar ke
seluruh dunia untuk kemudian eksis sebagai salah satu alat dan aksesori untuk
menyuporteri seperti tambur, banner raksasa, bendera, scarf, kembang api dan lainnya.
Ada satu warna yang tak bisa kita
abaikan yakni bagaimana sebuah event olahraga level dunia digelar. Hingga
tuntasnya hajatan, penyelenggara layak dianggap sukses melaksanakan perhelatan
pesta bola itu. Selain melaksanakan semua prosesi dari sebelum hingga sesudah
pertandingan sesuai dengan standar yang paling baik. Panitia juga berhasil
menjawab kekhawatiran sebagian pihak terutama soal potensi kerusuhan.
Ada beberapa tesis yang
diapungkan perihal besarnya potensi kerusuhan itu dapat terjadi. Seperti
tingginya tingkat kriminalitas di Afrika Selatan, kemungkinan lanjutan dari
aksi pemogokan para pekerja stadion, dan catatan panjang bencana dalam stadion
di negara-negara benua Afrika.
Retrospeksi dan Introspeksi
Benua Afrika memang tercatat
banyak sekali menyumbang peristiwa bencana dalam stadion. Dalam 10 tahun
terakhir, sedikitnya terdapat delapan bencana besar yang mengakibatkan
hilangnya nyawa terjadi di Afrika.
Di Afsel sendiri tercatat ada
tiga bencana besar yang pernah terjadi. Pada 13 Januari 1991: Orkney di
Johannesburg Selatan, sedikitnya 42 orang tewas saat terjadi kekacauan akibat
orang-orang yang panik menghindari perkelahian yang pecah di tribun penonton.
Selang tujuh tahun kemudian di
Stadion Ellis Park, terjadi keributan saat derby
Johannesburg antara Kaizer Chiefs dengan Orlando Pirates. Pihak keamanan
menggunakan peluru karet dan gas air mata saat membubarkan massa yang terus
memaksa membeli tiket.
Namun yang terparah adalah
bencana 11 April 2001, sekaligus tercatat sebagai bencana terburuk dalam
sejarah olahraga Afrika Selatan. Lagi-lagi terjadi saat derby Johannesburg di Stadion Ellis Park. Tercatat 43 orang tewas
dan lebih dari 150 orang terluka karena massa yang terus memaksa masuk ke
stadion yang sudah berisi penuh penonton.
Dengan “tradisi” bencana dan
kurangnya pembelajaran pada masa lalu membuat masyarakat sepakbola sempat
khawatir dengan pesta bola tersebut. Dalam The
Ellis Park Stadium Soccer Disaster Interim Report, disebutkan bahwa
organisasi pengamanan di Afrika Selatan sangat kompeten dan berpengalaman dalam
melaksanakan sistem manajemen kerumunan yang aman.
Konser, festival dan pertandingan
kriket skala internasional telah berlangsung sepanjang waktu dan berlangsung
aman. Penyebab bencana 11 April 2001 adalah adanya unsur pengabaian. Termasuk
pengabaian pada petunjuk pertandingan dari FIFA dan South Africa Football
Association (SAFA).
Sembilan tahun setelah kejadian
Ellis Park, Afsel sukses membayar kepercayaan FIFA. Mereka melakukan
retrospeksi dan introspeksi. Belajar pada pengalaman kelam masa lalu dan
koreksi diri atas kekalahan dalam proses bidding
menjadi tuan rumah PD 2006, sekaligus menyelaraskan pikiran dan hati para stakeholder sepakbola di negara
tersebut.
PD 2010 usai sudah. Pengurus PSSI
yang “belajar” menonton PD pun sudah pulang. Pelajaran dan hikmah apa yang bisa
mereka petik untuk kemudian dipraktikkan demi kemajuan sepakbola negeri ini?
Kiranya niat sungguh-sungguh untuk retrospeksi dan introspeksi saja sudah lebih
dari cukup untuk ditiru.
No comments:
Post a Comment