Aku rebah di tanah basah. Memandang
langit sore, melihat gumpalan awan putih di luasnya warna biru. Perlahan
pemandangan berganti bayangan dari langit pikiranku. Terlihat wajah
satu-satunya wanita yang pernah aku ajak makan berdua selama masaku menyusu ilmu
di universitas. Wajah yang tak lepas dari senyum, seakan senyum itu organ
permanen di wajahnya. Tak begitu lama bayangannya singgah karena memori otakku
memuntahkan lagi bayangan lain. Masih seorang wanita. Wanita yang berbeda
tentunya. Tetapi sama dengan yang sebelumnya, dia juga menyunggingkan senyum tapi
tanpa menunjukkan barisan giginya yang rapi. Tak banyak kenangan dengan
dirinya, hanya sering kutelpon lewat warung telepon seorang teman dan kusebut
namanya di skripsiku.
Aku suka melihat wanita
tersenyum. Dari senyumnya aku biasa menerka hidupnya. Dari senyumnya aku
menebak kemungkinan dia mau menerimaku. Aku rasa tak banyak terkaan dan tebakanku
yang meleset. Selalu ada senyum yang sama dari wanita yang menerimaku. Begitu
banyak wajah, namun senyum yang sama. Serasinya cahaya mata dengan gerak bibirnya.
Perubahan bentuk pipi dan tentu saja sudut wajahnya. Bayangan yang baru pun seketika
muncul, wanita yang berbeda lagi tetap dengan senyum yang sama. Aku bangunkan
punggungku dari tanah. Penyesalan memenuhi hati. Wanita ini, aku baru mencintainya
setelah dia pergi dengan segala kepeduliannya. Aku masih merasai dekapannya,
wangi rambutnya. Untuknya aku masih sesekali mengirimkan doa.
Lima tahun lalu aku terakhir melihat senyum cinta. Kini, ada satu wanita yang
aku pernah lihat memiliki senyum yang sejenis. Telah aku
tanam benih harapan, aku kosongkan ruang hati. Selain ibu dan adikku, dia
wanita yang paling banyak kukirim doa. Wanita indah, semoga bersamaku.
No comments:
Post a Comment